Pages

Minggu, 07 Juli 2013

Resensi Kumpulan Cerpen "Flamboyan Senja" Karya Aliya Nurlela

Judul Kumcer : Flamboyan Senja
Penulis : Aliya Nurlela
Jumlah halaman : 139 halaman
Jenis Cover : Biasa
Harga : Rp 38.000
ISBN : 978-602-17143-5-5
Penerbit : FAM Publishing
Siapa yang tidak tahu kata “dream” ? Semua manusia normal di dunia pasti tahu arti dan makna “dream”. Orang Indonesia menyebutnya dengan istilah “harapan”, “impian”, “rindu”, atau kadang- kadang dibentuk menjadi sebuah kalimat, misalnya “sesekali bersila, sesekali bertekuk lutut”. Kalimat impian inilah yang mengawali cerita yang akan dijadikan sebagai tema dalam kumpulan cerpen
yang dipilih oleh penulis, Aliya Nurlela: keinginan untuk berubah menjadi wanita yang seutuhnya, tetapi sering ditepis oleh kebimbangan sifat labil masa itu, dahulu. Penulis meledakkan makna “dream” di awal cerita, disandingkan dengan kisah nyata—mungkin pribadi—dengan alur yang fiktif.
Kumpulan cerpen yang dikarang oleh Aliya Nurlela membungkus cerita dengan kantung Islamik. Dari awal hingga akhir cerita, kumpulan cerpen Flamboyan Senja dihiasi dengan senandung kata mutiara dan untaian asma Allah SWT. Begitu juga dengan konsep penulisan yang diterapkan oleh penulis, yaitu “cerita yang ‘bernilai’ haruslah selalu diingat, karena akan menjadi pedoman hidup”. Pada akhir cerita, penulis secara gamblang memberikan nilai- nilai moral dan Islamik—sangat eksplosif—yang ditulis dengan runtut berdasarkan cerita yang telah dipaparkan sebelumnya.
***
Ada yang berujar tak sadar, “Subhanallah.” Ada pula yang mengucap syukur lega, “Alhamdulillah, akhirnya...” Namun tak sedikit yang mencibir dan meragukan kostum yang membalut tubuhku akan bertahan kukenakan (Halaman 10). Dari potongan paragraf awal cerita, Flamboyan Senja, cerpen ini menjelaskan betapa kerasnya cobaan yang dihadapi oleh tokoh utama untuk mempertahankan dan memperjuangkan impiannya menjadi muslimah sejati. Dalam cerpen ini, penulis memilih pohon Flamboyan sebagai sandingan tokoh utama yang berjuang untuk menghentikan jalan hidupnya di dunia teater, sehingga cerita terkesan dramatis.
Geu Saram, judul cerpen bagian ke dua. Cerpen ini memiliki hubungan yang erat dengan cerpen Flamboyan Senja atau dapat dikatakan Geu Saram adalah kelanjutan dari Flamboyan Senja. Pada halaman 30 menegaskan, “Kamu sudah memiliki segalanya. Popularitas, kesempatan dan uang. Bukankah banyak gadis cantik yang berlomba- lomba meraih posisi sepertimu?! ...” Dalam kutipan cerpen Geu Saram ini, penulis menambahkan konflik cerpen pembuka, yaitu rintangan yang dihadapi oleh tokoh untuk tetap berada di jalan yang dipilihnya dan sejalan dengan keluarganya, menjadi muslimah sejati dan meninggalkan karier sebagai pemain teater. Geu Saram juga mendukung jawaban permasalahan cerita Flamboyan Senja, (halaman 32) “... Kalian tahu, penulis Zahda Amir? ...” Aliya Nurlela mengangkat penulis Zahda Amir sebagai pembanding dengan sutradara Joe yang menganut paham berkarya sebebas- bebasnya atau seni adalah santapan hiburan yang menyegarkan. Penulis Flamboyan Senja terus- menerus mendeskripsikan sosok Zahda Amir sebagai tokoh idola cerita. (Halaman 40) “ ‘Ayo segera bangun, kita pergi dari sini.’ Sebuah suara pelan mengagetkanku. Itu bukan suara sutradara Joe apalagi keempat lelaki kekar itu...” Secara fisik cerita, tokoh diselamatkan oleh seorang laki- laki tak dikenal, dan pada detik- detik terakhir cerita, ternyata lelaki itu adalah Zahda Amir yang terkenal dengan tulisan santunnya. Di sini, penulis sangat mahir membalik cerita fakta menjadi fiktif: mungkin, inilah jawaban yang mendukung mengapa tokoh mulai meninggalkan kariernya sebagai pemain teater yang juga dipaparkan dalam cerpen pertama.
Tidak hanya penulis Zahda Amir yang diangkat oleh penulis kumpulan cerpen Flamboyan Senja, Aliya Nurlela, tetapi juga penulis Khalil Gibran muncul pada halaman 115, “... Kubaca ulang. Ah, mengapa tidak sehebat untaian kalimat Khalil Gibran? ...” Penulis menyinggung gaya bahasa dan pola menulis sang pujangga yang terkenal dengan ukiran kalimat indah. Dalam kutipan cerpen tersebut, penulis sepertinya fokus pada harapan tokoh cerita untuk menulis yang indah, setidaknya mendekati keindahan karya Khalil Gibran dan diselingi dengan kalimat yang santun. Sedangkan faktanya, gaya menulis Khalil Gibran sudah tertanam di cerpen bagian akhir, Kelopak Flamboyan Itu Bertasbih.
Penulis Flamboyan Senja tetap berpedoman pada kata “dream”, seperti cerpen ke tiga, ‘Impian yang Terhapus’ yang merupakan sisa dari cerita sebelumnya, bahwa tokoh aku pada cerpen sebelumnya memiliki mimpi menjadi orang terkenal namun pada akhirnya terlepas, terhempas hingga di cerpen ‘Impian yang Terhapus’. Sedangkan, cerpen yang lain, penulis tetap fokus pada tema yang dibulatkan—harapan—impian—rindu—ingin memiliki cinta—dalam ruang cerita cinta, keluarga, kemiskinan, dan ketergantungan dengan orang lain.
Kumpulan cerpen ini cocok dibaca oleh semua kalangan, terutama usia labil atau 12 tahun ke atas. Kumpulan cerpen ini juga menyuguhkan cerita yang bervariasi, fokus dengan tema “dream”, dan mengulas ulang semua pesan cerita yang ingin disampaikan di bagian akhir cerpen “Kelopak Flamboyan Itu Bertasbih”, sehingga pembaca yang berusia labil dapat lebih paham apa makna cerita yang telah dibaca sebelumnya.
Kata “santun”. Dalam kumpulen cerpen Flamboyan Senja, kata tersebut dapat menjadi karakteristik kepenulisan dari penulis Aliya Nurlela. Kata ini selalu dilibatkan dengan karakter dan pesan baik cerita yang disampaikannya.
Cerita yang dipaparkan penulis sangat dramatis dan fiktif, terutama cerpen pertama dan ke dua, sehingga secara tidak sengaja pembaca akan sulit menilai dan menghubungkannya dengan kehidupan nyata, bahwa impian dan sukses hanya bisa terwujud dengan mudah di dalam cerita- cerita fiktif. Seharusnya, penulis tidak perlu menceritakan sebuah kisah terlalu dramatis atau fiktif, apalagi tema cerita “dream” atau “impian” yang biasanya menjadi cerita inspirasi dan motivasi pembaca. Cerita dengan tema “dream” akan lebih mengena ke pembaca bila dipaparkan dengan tidak terlalu dramatis atau fiktif.

0 komentar:

Posting Komentar