Prasangka dan
diskriminasi, dan perbedaannya yaitu jika prasangka adalah Sikap negatif terhadap
sesuatu. Walaupun dapat digaris bawahi bahwa prasangkan dapat juga dalam
pengertian positif. Tidak sedikit orang-orang yang mudah berprasangka, namun
banyak juga orang-orang yang lebih sukar untuk berprasangka. Seorang yang
mempunyai prasangka rasial, biasanya bertindak diskriminatif tanppa berlatar
belakang pada suatu prasangka. Demikian juga sebaliknya, seseorang yang berprasangka
dapat saja berperilaku tidak diskriminatif.
Prasangka juga
bisa menjadi sumber penyakit, jika prasangka tersebut merupakan prasangka yang
buruk. Pikiran buruk adalah seperti tumpukan sampah dalam diri kita. Kalau dia
dibiarkan menumpuk terus, dia akan menjadi sumber penyakit. Dan dia hanya bisa
dihilangkan kalau kita mau menyingkirkannya dari diri kita. Sampah tidak hilang
dengan sendirinya. Kita harus dengan sengaja membuangnya jauh-jauh sehingga
baunya pun tak tercium lagi oleh hidung kita. Pikiran buruk berkodrat serupa.
Ketika dia ada dalam pikiran kita, dia meracuni bagian-bagian yang masih sehat
dalam benak kita. Ketika itu dibiaran berkembang, dia bahkan merusak
bagian-bagian tubuh kita yang lain.
Sebagai contoh
kecil saja, misalnya ketika pada suatu pagi, seorang kenalan kita tidak
tersenyum pada kita, itu tidak berarti dia membenci kita. Ada banyak
kemungkinan. Salah satunya, dia sedang mengalami persoalan sangat berat dalam
hidupnya, misalnya saja ada salah seorang anggota keluarganya divonis mengidap
penyakit serius, atau petugas kartu kredit memburunya, dan sebagainya. Atau
mungkin juga karena memang dia mendengar sesuatu yang buruk mengenai diri kita,
dan dia merasa tidak nyaman dengan itu.
Ada banyak
kemungkinan. Tapi kalau kita kesal dan memusatkan perhatian pada soal ‘dia
membenci saya” maka rangkaian kejadian selanjutnya akan didikte oleh sikap kita
itu. Sebagai balasan, kita juga tidak tersenyum padanya. Kita mulai
mengingat-ingat sisi buruk orang itu. Akibat lebih lanjut, kita benar-benar
percaya bahwa dia tidak pantas menjadi teman kita. Ujung-ujungnya, pertemanan
hancur, padahal itu semua dimulai dengan kejadian sederhana yaitu “tidak
tersenyum”.
Mulai saat ini,
mudah-mudahan kita bisa lebih tepat menempatkan sebuah prasangka. Kita pelajari
seperti halnya dalam Al-Quran yang berulang kali bicara soal buruknya
bergunjing tentang orang lain. Dimana, kutukan dialamatkan pada mereka yang
sering berbicara tentang sesuatu yang mereka tidak memiliki pengetahuan cukup
mengenainya. Bahkan dalam hal perzinahan, Allah minta agar hukuman “yang sangat
berat” hanya bisa ditetapkan kalau memang ada “empat saksi” yang melihat
langsung. Penyebutan saksi di situ jelas menunjukkan betapa rumitnya
persyaratan yang harus dipenuhi sebelum kita berhak menghakimi seseorang yang
disangka melakukan perilaku buruk. Manusia tidak berhak menghukum seseorang
hanya dengan prasangka.
Jika mencermati
kisah diatas, kita dapat menyimpilkan bahwa berprasangka buruk adalah sesuatu
yang sering mengganggu kebahagiaan hidup manusia. Karena prasangka, hidup
seorang manusia bisa hancur. Karena prasangka, hubungan antar-kawan yang semula
sedemikian baik bisa berbalik arah. Karena berprasangka pula, jiwa seseorang
bisa berkelanjutan terbebani dengan kekhawatiran yang tak perlu. Karena itu,
tidak berlebihan bila para ahli kerap menyatakan bahwa kebiasaan berprasangka
harus diperangi karena efek negatifnya bisa terentang panjang.
Diskriminasi
dalam berbagai bentuk telah merambah ke berbagai bidang kehidupan bangsa dan
dianggap sebagai hal yang biasa dan wajar serta tidak menganggap bahwa hal
tersebut merupakan suatu bentuk diskriminasi.
Perlakuan
diskriminatif tidak disadari oleh subjek yang menerima perlakuan diskriminasi
tersebut dan oleh yang memperlakukan tindakan diskriminasi tersebut. Praktik
diskriminasi merupakan tindakan pembedaan untuk mendapatkan hak dan pelayanan
kepada masyarakat dengan didasarkan warna kulit, golongan, suku, etnis, agama,
jenis kelamin, dan sebagainya serta akan menjadi lebih luas cakupannya jika kita
mengacu kepada Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Pasal 1 ayat (3)
UU tersebut menyatakan bahwa diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan,
atau pengucilan yang langsung ataupun tidak langsung didasarkan perbedaan
manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial,
status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, dan keyakinan politik, yang berakibat
pengangguran, penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau
penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan, baik
individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial,
budaya, dan aspek kehidupan yang lain.
Diskriminasi
bahkan tampak terlihat jelas di negara besar dan multi ras seperti U.S.A
(amerika serikat). Disana diskriminasi yang terasa adalah dirkriminasi warna
kulit (sang kulit hitam dan putih). Banyak orang kulit hitam yang tidak
mendapatkan hak yang sama seperti orang kulit putih. Sebagai contoh, di sekolah
di amerika jika ada seorang anak kulit putih dan kulit hitam yang bertanya,
maka sang guru (kulit putih) hanya akan menjawab pertanyaan dari si anak kulit
putih. Seharusnya perbedaan yang ada jangan kita jadikan jurang pembatas,
melainkan kita jadikan pemersatu antar manusia. Karena di mata Tuhan semua manusia
itu sama, yang membedakan hanya amal baik perbuatannya.
Adanya
prasangka, diskriminasi, dan etnosentrime dalam masyarakat tidak harus menjadi
suatu hal yang besar dalam masyarakat karena setiap masyarakat memiliki daya
pikir untuk dapat menyelesaikan permasalahan yang ada di wilayahnya. begitu
juga dengan organisasi yang ada seperti PBB atau lainnya yang diharapkan mampu
menciptakan perdamaian dunia agar tidak terjadi diskriminasi ataupun masalah.
Jadi kita sebagai manusia tidak boleh berprasangka yang tidak baik kepada orang
lain, dan sebaiknya tidak membeda-bedakan orang-orang yang ada di sekeliling
kalian. Perfikirlah positif selalu dan teruslah menjadi orang yang bisa di
andalkan dan berbuat baiklah kepada setiap orang.